Rabu, 28 Januari 2009

Rapor Merah Ibunda Megawati, SEBUAH OTOKRITIK!

Rapor Merah Ibunda Megawati, SEBUAH OTOKRITIK!

....saya jelas kader PDIP, tapi tulisan dibawah ini adalah sebuah kritik terhadap diri kita sendiri. Sudah siapkah kita kader kader muda PDIP menjawab kritikan dibawah ini? Dan lebih jauh lagi...akankah kita memiliki komitment dan konsistensi yang kuat terhadap kepemimpinan PDIP ke depan?, kepada keberbihakkan kita pada wong cilik? Ketegasan kita kepada cara hidup berpolitik yang cerdasa dan santun? Keteguhan kita kepada demokrasi yang berwawasan ke-adab-an?.....JELAS SUDAH bahwa kritikan kritikan yang menghunjam kepada jantung kita adalah sebaik baiknya obat!!!! MERDEKA! MERDEKA UNTUK SELAMA LAMANYA!”



Bila agenda reformasi menjadi ukuran, rapor Pemerintahan Megawati-Hamzah --berkuasa hampir 2,5 tahun-- masih jauh dari memuaskan. KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) kian merajalela. Penegakan hukum pilih kasih. Tuntutan publik untuk mengadili mantan Presiden Soeharto dan kroninya malah sudah terlupakan.

Pertahanan dan keamanan jeblok. Tragedi dan kerusuhan terjadi dimana-mana. Aparat keamanan --polisi dan tentaramalah saling baku tembak. Kekuatan partai-partai besar, yang menjadi inti pemerintahan sekarang, juga ikutan bakuhantam dan saling bakar. Lihat saja kasus Buleleng (Bali) serta beberapa wilayah di Jateng, Jatim, dan NTB.

Boleh saja untuk sementara Ambon dibilang cukup tenang. Tapi, Poso terus bergolak. Kini malah muncul teror terhadap ulama di wilayah Tapal Kuda (Jatim). Di ujung wilayah negeri, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, darah terus berkubang kekerasan akibat dampak operasi militer.

Di sisi lain, pemerintah malah bersikap represif terhadap warganya sendiri. Mahasiswa kritis diinterogasi. Kebebasan berpendapat tidak terjamin lagi. Anarkisme terhadap kebebasan pers mengintip dari sana-sini. Kantor koran disatroni preman. Wartawan diteror.

Terhadap isu global memerangi apa yang disebut sebagai “terorisme”, pemerintah cenderung mengekor instruksi asing (Amerika Serikat dan sekutunya). Setiap kali ada fitnah dan penangkapan terhadap warga dan mahasiswa Indonesia di luar, apalagi aktivis Islam, pemerintah seperti sakit gigi. Nyaris tak ada upaya pembelaan, kecuali sekadar janji akan mencari jalan untuk klarifikasi. Alih-alih melindungi, pemerintah justru menjadi sponsor tindakan represif itu.

Di dalam negeri, puluhan aktivis masjid dan gerakan Islam ditangkapi tanpa prosedur dan alasan yang jelas. Amir Majelis Mujahidin Ustadz Abubakar Ba’asyir terus dibui sekalipun masa tahanannya telah berakhir. Beda dengan terpidana makar Republik Maluku Serani (RMS) Alex Manuputty yang bisa bebas lepas. Permohonan kasasinya ke Mahkamah Agung ditolak, dan dia tetap divonis 4 tahun penjara. Tapi Alex leluasa kampanye (untuk kemerdekaan Maluku) di Amerika.

Di bidang ekonomi, pemerintah begitu memanjakan kekuatan asing. Perusahan negara yang strategis malah diobral murah satu per satu. Sebut saja Indosat, Telkom, Metrosel, Astra, Indofood, sejumlah stasiun TV, dan Garuda Indonesia. Kekuatan bisnis asing pun berebut, termasuk dari kelompok Yahudi.

Memang, saat ini Indonesia sudah lepas dari bayang-bayang IMF. Namun ganti berutang ke CGI, lembaga donor andalan Orde Baru. Jumlah utang dan bunga utang negara terus membengkak hingga Rp 1.260 trilyun, atau 75% dari (PDB) Pendapatan Domestik Bruto negeri ini. Bagaimana kita keluar dari jeratan utang dan ketergantungan pada lembaga asing? Sepertinya tak sempat lagi dipikirkan oleh para elite pemerintah yang kini lebih gemar kampanye untuk partai dan kelompoknya.

Amandemen UUD harus diakui mengalami kemajuan. Pun dalam pembuatan perangkat hukum dan lembaga baru. Namun, langkah operasionalnya masih jauh dari memuaskan. Agenda reformasi di sejumlah bidang praktis jalan di tempat, bahkan mundur. Prestasi positifnya, kalau boleh dikatakan begitu, hanya pada angka-angka indikator ekonomi makro. Misalnya stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dollar, tingkat inflasi, dan pertumbuhan ekonomi relatif.

Sayangnya, angka-angka makro itu tidak atau belum berpengaruh pada sektor riil dan realitas mikro di lapangan. Kredit untuk usaha kecil dan menengah yang jumlahnya tidak seberapa cuma 7% dari utang konglomerat yang diputihkan atau diampuni melalui kedok release and decharge-- lebih dari separonya belum terkucur. Akibatnya, rakyat miskin bertambah, pengangguran bertumpuk, biaya hidup melonjak akibat pencabutan subsidi BBM, listrik dan telepon. Lengkap sudah penderitaan wong cilik.

Megawati Gagal Total


KKN merajalela. Menjelang Pemilu 2004 diperkirakan akan semakin menggila

Kalangan mahasiswa layak kecewa. Tuntutan utama gerakan reformasi yang dimotori anak-anak muda ini tak bisa dipenuhi Pemerintahan Megawati-Hamzah. Yaitu pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), serta penegakan hukum.

“Mega boleh dikatakan gagal total. Dia tidak konsisten. Bahkan terkesan tidak ada komitmen sama sekali terhadap agenda reformasi,” kata Ahmad Nur Hidayat, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI).

Simak saja, Megawati mengangkat orang-orang bermasalah sebagai aparat puncak penegak hukum. Para koruptor tervonis dibiarkan bebas, bahkan ada yang memimpin lembaga tinggi negara. Proses persidangan mereka berjalan seperti film India dimana koruptor (pemeran utama) tampil sebagai orang tidak bersalah dan terzhalimi.

Para konglomerat diampuni dengan kedok release and discharge. Sebagian mereka --yang telah mengemplang uang rakyat sampai ratusan triliun-- kini leluasa memborong kembali aset-aset yang pernah disita Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dengan harga amat murah. Tommy Soeharto dan Bob Hasan yang sudah diburu dengan susah payah dan dibuang ke Nusa Kambangan, konon malah diberi grasi (pengurangan hukuman) secara terselubung.

Kasus korupsi Soeharto telah dipetieskan dengan alasan Soeharto sakit. Kini, setelah mantan Raja Orde Baru itu tampak bugar --bisa jalan-jalan dan diskusi dengan orang-orang terdekatnya-- pemerintah seperti tutup mata.

Pengusutan kasus-kasus mega-korupsi jalan di tempat. Sebut saja kasus Bank Bali, Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), dan utang-utang segunung para konglomerat. Menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), sampai saat ini masih ada 19 kasus korupsi besar yang mengendap di kejaksaan, 9 nama tersangka koruptor kabur, 16 daftar terpidana korupsi belum menjalani hukuman, dan 6 tunggakan perkara kasus korupsi di kepolisian.

Transparency International (TI) pada bulan Maret 2003 mencatat, antara tahun 2001-2002 di Jawa Barat saja terdapat 146 kasus korupsi. Pihak kejaksaan baru memproses 60 kasus. Kasus lain terjadi dalam pembangunan jalan di Sumatera Selatan yang merugikan negara Rp 22,3 milyar dan kasus Jogja Expo Center (JEC) yang melibatkan beberapa anggota DPRD setempat. Semua provinsi di negeri ini diwarnai karus korupsi.

“Sejak awal, komitmen Pemerintahan Megawati untuk memberantas KKN dan reformasi penegakan hukum itu lemah. Mega justru berpihak kepada konglongmerat, orang-orang kaya, dan para penguasa politik, demi mempertahankan kekuasaan,” ujar Hermawan, Ketua Umum Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).

Bukti tentang itu tampak jelas dalam kasus obral beberapa aset strategis. Seperti penjualan 41% saham PT Indosat senilai Rp 5,6 trilyun kepada Singapore Technologies Telemedia (STT) yang tidak transparan dan penuh misteri.

Menurut mantan Presiden Abdurrahman Wahid, kabarnya menteri yang terkait dengan penjualan itu beserta konco-konconya mendapat komisi 9% (atau senilai Rp 0,5 trilyun). Menteri Negara Urusan BUMN Laksamana Sukardi mengaku bahwa itu untuk ongkos konsultan, notaris, dan biaya administrasi lainnya.

Penilaian seperti di atas juga dikatakan anggota DPR dari Fraksi Reformasi, Alvin Lie. Menurutnya, penegakan hukum di negeri ini memang sangat diskriminatif. Orang-orang yang kantungnya tebal atau mereka yang punya kekuatan dan kekuasaan politik, begitu sulit dijangkau hukum. “Saya dengar ada buronan BLBI malah bisa datang ke rumah presiden. Bagaimana bisa pasien berat BPPN malah punya akses ke presiden?” katanya.

Pemerintah juga tidak punya identitas diri dan terlalu bergantung kepada kepentingan asing. Apa saja yang dikatakan pihak luar, entah itu IMF, ICG, atau yang lain, pasti akan dituruti. “Secara tergopoh-gopoh Mega berusaha memuaskan para tuan-tuan itu. Sebaliknya bila rakyat sendiri yang teriak, tidak digubris,” tambah Alvin.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Kwik Kian Gie memperkirakan nilai yang dimakan para koruptor hampir Rp 300 trilyun. Angka yang cukup fantastis. “Jika 30% saja angka korupsi ini bisa diturunkan, banyak yang bisa dilakukan. Misalnya untuk mensejahterakan PNS dan menaikkan anggaran pendidikan,” kata tokoh PDIP ini.

Seorang anggota DPR dari PDIP yang enggan disebut namanya menyadari begitu buruknya prestasi Mega. Fungsionaris PDIP sebenarnya tidak kurang mengingatkan sang Ketua Umum.”Tetapi Bu Megawati tampak tenang-tenang saja. Begitu juga soal pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Bukannya diberantas, tapi malah merajalela,” ungkapnya.

Benar kata pengamat ekonomi Faisal Basri. “Pemerintah Megawati tidak bisa menghentikan korupsi di negara ini, mereka malah menjadi bagian dari permasalahan ini.”

Tak mengherankan bila Indonesia dari tahun ke tahun selalu “berprestasi” hebat dalam hal korupsi. Di Asia juara dua. Untuk level dunia, kita berada di urutan nomor enam. “Ini menunjukkan belum ada komitmen serius dari pemerintah untuk memberantas korupsi. Pemberantasan KKN rupanya baru retorika,” kata Jusuf Syakir, ketua Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggaraan Negara (KPKPN).

Menjelang Pemilu 2004, korupsi dikhawatirkan akan makin menggila. Para koruptor akan memanfaatkan celah program otonomi daerah dan begitu besarnya pinjaman dari luar negeri. “Kebocoran pinjaman luar negeri sekitar 20-30%,” begitu prediksi Koordinator ICW Teten Masduki.

Baru-baru ini terjadi pembobolan bank pelat merah, yaitu BNI dan brI. Nilainya juga mencapai angka trilyunan. Jangan-jangan jalan kompromi ala kasus Bank Bali akan terulang lagi!* Ahmad Damanik, Ikhsan Kamil, Dedi Junaedi/Hidayatullah

Bambang Widjojanto, Dewan Etik Indonesia Corruption Watch (ICW): “Hukum Bisa Dipermainkan”


Kasus demi kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) terus bermunculan di era reformasi. Tanggapan Anda?
Secara umum korupsi memang semakin meluas. Dahulu yang terjadi adalah korupsi oligarki, terjadi hanya pada tingkat pusat kekuasaan. Kini korupsi sudah terdesentralisasi, meluas sampai kewenangan daerah. Ini semua akibat pemerintah yang tidak tegas. Upaya menangani KKN masih sebatas ucapan dan pernyataan. Pembuat statement-nya pun masih terlibat kolusi dan korupsi.

Bukankah pemerintah sudah membuat berbagai kebijakan, aturan, dan lembaga antikorupsi?
Memang dari segi kebijakan, pemerintah banyak membuat aturan. Misalnya, UU Anti Korupsi No 31 tahun 1999 direvisi menjadi UU No 30 tahun 2002. Hanya saja belum sampai tingkat pelaksanaan. Pemerintah tidak konsisten. Itu kan sama saja bohong. Tetap saja banyak pejabat negara yang lolos (dari pemeriksaan).

Kenapa bisa begitu?
Lembaga peradilan belum sepenuhnya mampu menjalankan kebijakan tersebut. Banyak mafia peradilan yang mudah dibeli. Hukum bisa dipermainkan. Kebijakannya sangat diskriminatif dan merugikan rakyat. Masak, koruptor yang sudah makan uang rakyat dimaafkan begitu saja.

Kabarnya mereka sudah atau berjanji akan mengembalikan uang korupsinya?
Betul. Tapi bukan berarti konglomerat hitam itu bisa dibebaskan dari hukuman. Kalaupun mereka mengembalikan uang korupsinya, itu hanya meringankan hukuman.

Mengapa hukum tidak bisa menjangkau mereka?
Inilah dampak dari ketidakjelasan paradigma hukum dan hukum ditegakkan secara diskriminatif. Maka dengan cepat kita bisa melihat bahwa hukum ini menjadi tidak adil. Dia akan lebih berpihak pada kepentingan segelintir orang yang mempunyai akses politik dan ekonomi.

Menurut Anda, bagaimana cara efektif memberantas korupsi di negeri ini?
Kinilah saatnya kita menggerakkan Gerakan Sosial. LSM yang selama ini menjadi penopang gerakan antikorupsi sangat kurang karena LSM tidak berbasis pada membership. Karena itu, kita perlu mendorong ormas-ormas yang memiliki basis keanggotaan agar terlibat dalam gerakan antikorupsi. Kita ajak masyarakat untuk mengontrol perilaku pejabat. Mari kita ubah anggapan bahwa kasus korupsi hanya urusan peradilan.* Ahmad Damanik/Hidayatullah

Lamban dan Suka Mengeluh


“Kita tertawakan sendiri pekerjaan yang aneh-aneh. Kalau kita dengar dari media, mesti berantas KKN, mesti... mesti... harus... harus. Tertawalah saya sendiri karena kalau di antara kita sendiri sebenarnya tidak mau melakukan yang mesti-mesti,” ujar Megawati.

Di antara lima presiden yang pernah memimpin negeri ini, Megawati Soekarnoputri adalah yang paling lamban merespons berbagai fenomena di sekitarnya. Ketua MPR Amien Rais dan Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra pernah mengaku kesal dan gemas melihat kelambanan bersikap dan mengambil keputusan itu.

Sebagai pejabat publik dan pimpinan nasional, Megawati juga sering mengeluh. Baik di dalam forum rapat kabinet yang tertutup, atau secara terbuka dan terungkap di media massa. Mau tahu keluhannya?

Misalnya seperti yang diceritakan oleh Gus Dur pada pertengahan November 1999. Dalam bincang-bincang dengan masyarakat Indonesia di Salt Lake City (Amerika Serikat), Abdurrahman mengaku pernah memberi tugas kepada Megawati selaku wakilnya untuk menyelesaikan masalah Ambon, Irian Jaya, dan Aceh. Menurut Gus Dur, tugas itu sengaja diberikan sebagai wahana belajar agar Mega siap dan matang memimpin. Eh, Mega meresponsnya dengan keluhan, “Mengapa yang sulit-sulit dikasih ke saya?”

Soal Aceh, Mega malah mengaku tidak sanggup. Karena itu, ketika Aceh memanas, Mega meminta agar Gus Dur yang saat itu sedang melawat ke negara-negara ASEAN buru-buru balik kandang. “Aceh bikin mumet (pusing) saya. Karena itu Mas Dur perlu pulang,” kata Mega seperti ditirukan Gus Dur. Terkesan lucu, ada presiden yang dipanggil pulang oleh wapresnya.

Sebgai presiden, Megawati pernah mengeluh di arena Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN), 11 Februari 2002, di Jakarta. Dengan polos Mega menyebut pemerintah yang dikomandaninya sebagai “keranjang sampah”. Lebih lanjut Ketua Umum PDIP ini mengatakan, “Perangai mereka arogan. Organisasi yang ada tambun dan geraknya lambat. Sifat para birokrat itupun korup. Profesionalisme dan produktivitas mereka rendah.”

Amien Rais langsung angkat bicara. Menurutnya, pernyataan presiden semacam itu bisa menimbulkan citra negatif terhadap pemerintahan sekarang. “Kalau birokasi seperti keranjang sampah, artinya tidak ada harapan lagi. Kalau tidak bisa didaur ulang, ya harus dibakar karena tidak ada gunanya sama sekali,” katanya kepada wartawan.

Mega juga pernah mengeluhkan tentang kinerja menter-menterinya. Menurut penilaiannya, para menteri tidak bisa bekerja sempurna. Amien menilai itu sebagai pernyataan yang kebablasan dan sama dengan pernyataan Gus Dur Gus Dur yang menyebut DPR seperti murid taman kanak-kanak (TK).

Beberapa kalangan menilai, Megawati cuma pintar mengeluh dan menyalahkan masa lalu. Dia sendiri belum mampu menunjukkan prestasi. Ketua DPR Akbar Tandjung bahkan pernah meminta agar Megawati merombak kabinet. “Jika keranjang sampah itu adalah anggota Kabinet Gotong Royong, silakan Presiden merombaknya. Kalau tidak bagus, buat apa dipertahankan?”

Boleh saja komentar datang silih berganti, namun Megawati tetap “konsisten” dengan karakteristiknya. Menurut Mashadi, anggota DPR dari Fraksi Reformasi, sekarang ini pemerintah malah lebih banyak melakukan kompromi politik atau pragmatisme. “Untuk persoalan yang sangat serius, malah tak ada good will.”

Komentar senada disampaikan Wakil Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Effendy Choirie. “Dalam hal penegakan hukum amat parah. Pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme tidak jalan. Orang-orang bermasalah malah dipelihara.”

Rupanya lama-lama Megawati tak tahan juga sering dikritik. Bukan menjawab dengan langkah nyata, tetapi justru kembali mengeluh. "Selama ini saja, aduh... pusing sekali menghadapi urusan negara ini. Satu selesai, satu lagi datang. Satu selesai, satu lagi datang,” katanya saat berpidato di luar teks dalam acara Pencanangan Peningkatan Produktivitas Nasional di Istana Negara, Jakarta (17 September 2003).

Masalah yang dimaksud adalah soal TKI (Tenaga Kerja Indonesia) yang terus disorot, berakhirnya kontrak dengan IMF dan PPM (post program monitoring)-nya yang dikejar-kejar waktu. Dia lantas mengkritik anak buahnya sendiri, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti. yang dinilainya terlalu sering mengikuti seminar-seminar. “Seminar berpuluh kali tapi tidak menyelesaikan persoalan. Berhentilah itu seminar-seminar itu.”

Namun begitu, Mega mengaku beruntung karena menteri-menteri bisa diajak bercanda dan tertawa. “Kita tertawakan sendiri pekerjaan yang aneh-aneh. Kalau kita dengar dari media, mesti berantas KKN, mesti...mesti...harus...harus. Tertawalah saya sendiri karena kalau di antara kita sendiri sebenarnya tidak mau melakukan yang mesti-mesti,” ujar Megawati.

Dia juga mengaku sudah mendengar adanya penilaian dari masyarakat mengenai kelambatannya dalam mengambil sebuah keputusan. “Saya kan seringkali dibilang lambat. Mega itu orang lambat, tidak mau cepat memutuskan, tidak mau ngomong. Ya biar saja, yang penting ke depannya. Itu lebih berguna ketimbang nanti buru-buru, cepat-cepat.”* Ahmad, Jumari, Saifuddin, Dedi Junaedi/Hidayatullah

Rakyat Digusur, Konglomerat Dipupur


Ketika kampanye menjelang pemilu, janjinya muluk hendak mencapai langit. Setelah berkuasa, sebagian besar tak terlaksana

“Kalau Tjut Nyak jadi Presiden, tak akan dibiarkan darah setetes pun mengalir di Tanah Rencong.” Begitulah janji Ketua Umum DPP PDIP, Megawati Soekarnoputri, dalam satu kesempatan kampanye Pemilu 1999 di Aceh. Kata-kata itu dia ikrarkan dengan nada sendu, setengah terisak, sembari tangannya menyeka air mata.

Tetapi itu terjadi empat tahun yang lalu. Sekarang, ketika Megawati sudah benar-benar menjadi presiden, Nanggroe Aceh Darussalam justru menjadi ajang pemberlakukan darurat militer. Kontak senjata pun terjadi antara TNI dan GAM atau orang-orang yang dicurigai bersimpati pada GAM. Korban berjatuhan, termasuk dari kalangan sipil. Kebijakan Pemerintahan Megawati-Hamzah ini telan menelan nyawa 700-an orang. Yang terluka dan menderita akibat ditinggal ayah, suami, atau saudara lebih banyak lagi.

Barangkali lupa atau sengaja melupakan ikrarnya sendiri, Mega tenang-tenang saja di Istana Negara. Acapkali malah asyik pesiar ke luar negeri. Atau bersukaria di Bali, pestapora merayakan ulang tahun suami atau pesta pernikahan anaknya. Perang di Aceh terus berkecamuk, bahkan status darurat militernya diperpanjang. Korban pun terus berjatuhan.

Tidak cuma di Aceh. Kaum tani dan nelayan, yang merupakan bagian terbesar dari warga negeri ini, tambah sulit mencari nafkah. Lahan subur kian menyusut. Jika pun masih menuai panen, harganya jatuh. Badan Urusan Logistik (Bulog) tak lagi berfungsi sebagai penyangga harga gabah dan beras petani.

Nelayan juga tambah susah karena maraknya pencurian ikan oleh kapal modern berbendera asing. Bayangkan, tatkala tani dan nelayan kita kesulitan mencari sesuap nasi, orang asing leluasa meraup milyaran (bahkan sampai triliuan) rupiah dari perusahaan-perusahaan milik negara dan lautan kita. Setiap tahun, kata Menteri Perikanan dan Kelautan Rokhmin Dahuri, “Rp 5 milyar kekayaan laut kita digondol kapal-kapal nelayan asing!”

Dada rakyat kecil semakin bertambah sesak karena tarif BBM, listrik, telepon, air, dan kebutuhan primer lain terus merangkak naik. Inilah sebabnya Ketua Umum Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Hermawan menilai kebijakan pemerintah sangat tiak berpihak kepada rakyat. “Lebih berpihak kepada konglongmerat, orang-orang kaya, dan para penguasa politik,” kata komandan organisasi mahasiswa yang dulu menjadi salah satu motor gerakan reformasi ini.

Tentu saja ada prestasinya. Misalnya dalam hal stabilitas ekonomi makro. Namun di mata Mashadi, anggota DPR dari Fraksi Reformasi, secara mikro belum ada perbaikan di sektor ril. Daya beli masyarakat justru tambah lemah. Berbarengan dengan hal itu, terjadi PHK (pemutusan hubungan kerja) besar-besaran di sejumlah BUMN. Itu terjadi akibat divestasi dan swastanisasi BUMN yang kabarnya bertujuan untuk efisiensi. Entah benar apa tidak, yang jelas daftar panjang pengangguran terus bertambah.

Di tengah kehidupan yang kembang kempis, banyak warga yang akhirnya berusaha apa saja demi terus mengebulkan asap dapurnya. Ada yang berwiraswasta, menjadi pedagang kakilima, sampai mengemis. Eh, para pedagang kakilima malah digusur habis-habisan dengan kedok penertiban. Ini terutama terjadi di kawasan Jakarta dan sekitarnya.

Barangkali benar kata para penggusur yang bernama pemerintah itu: warga telah menggunakan tanah yang bukan haknya. Tetapi, kata anggota DPR Alvien Lie, pemerintahan mestinya ikut bertanggung jawab atas nasib mereka. Bukankah rakyat miskin dan telantar itu wajib dipelihara negara?

“Saran saya, sebelum menggusur penghuni liar itu, coba tunjukkan apakah pemerintah berani menggusur posko-posko partai yang menggunakan tanah-tanah yang juga bukan haknya. Trotoar kan hak pejalan kaki, mengapa di sana dibuat posko-posko partai?” katanya gemas.

Masih kata Alvin Lie, Pemerintahan Megawati juga tak peduli pada penderitaan rakyat. Tatkala ratusan rakyat mati tertimpa banjir dan longsor di Bahorok (Sumut) misalnya, Presiden Megawati enggan datang ke sana. Istri pengusaha Taufik Kiemas ini lebih suka jalan-jalan ke Bali.

Contoh lain, ketika ribuan TKI terlantar di Malaysia, Mega tak banyak bicara dan asyik keliling dunia. Memang Mega pernah mengunjungi korban banjir. Namun itu dilakukan dari jarak jauh karena Mega berada di dalam helikopter. Tentu saja jerit dan teriakan rakyatnya tak terdengar.

Banyak sekali kebijakan Mega yang bertentangan dengan jargon-jargon kampanyenya menjelang pemilu dahulu. Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI, Ahmad Nur Hidayat, mencatat beberapa di antaranya. Yaitu mulai dari kebijakan dalam pendidikan dan kesejahteraan rakyat, pencabutan subsidi, penggusuran, pengampunan atas para konglomerat hitam, dan swastanisasi sejumlah perusahaan strategis dan unggulan.

Pantas bila anggota DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Effendy Choirie menyimpulkan, “Orientasi kepemimpinannya tidak untuk rakyat. Tapi untuk konglomerat hitam.”

Atau, seperti kata Mashadi, kepemimpinan yang penuh dengan tindakan paradoks. Ketika rakyat-rakyat kecil digusur, konglomerat dan koruptor malah di-pupur (dibedaki).* Ahmad, Jumari, Saifudin, Dedi Junaedi/Hidayatullah

Senin, 26 Januari 2009

MEMILIH MALING DIANTARA PARA BANDIT

Demokrasi para bandit! SEBUAH OTOKRITIK!

Tahun 2009 adalah tahun dimana "para bandit" bersolek, untuk tampil cantik dan molegh. Ia betul, denganitu maka kita diharapkan untuk memilih. Karena apa? karena kenikmatan di dewan adalah idaman para bandit. Kenikmatan anggaran dan fasilitas yang mengalir kedalam kantung pribadi adalah tujuan.

Maka kenikmatan itu, acap pula dibagi dengan mengajak kerabat lainnya masuk menjadi bagian di sebuah instansi tertentu. Hal ini juga terindikasi terjadi di Sekretariat MPR-RI, dan banyak instansi lainnya di berbagai ranah negeri ini. Sehingga lalu beramai-ramai memanfaatkan anggaran rakyat, uang rakyat itu, menjadi-jadi.

Sedangkan DPR sendiri, anggarannya alai him. Toh mereka membuat anggaran untuk diri sendiri, yang dikolegialkan bersama pemerintah. Jika DPR demikian, nggak usah lagi bertanya soal DPD.

Dewan Pertimbangan Daerah (DPD) yang oleh banyak pengamat sering disebut sebagai macan ompong dalam sistem demokrasi itu - - yang gaji dan fasilitasnya sama dengan anggota DPR - - seharusnya memperhatikan dan mengusulkan Rancangan Undang-Undang untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah, termasuk pengawasan penggunaan anggaran di daerah, seakan bagaikan angin lewat saja kini. Apa sih kerja dan prestasinya seorang Dr. Laode Ida yang Wakil Ketua DPD RI yang signifikan membawa perubahan terhadap rakyat? .

Untuk apa dana triliunan rupiah digunakan DPD dalam satu periode mereka duduk di Senayan? Berapa porsi presentase untuk kesejahteraan, gaji mereka dibanding output mereka dalam memperjuangkan kepentingan rakyat? Apa perhatian mereka terhadap Gizi buruk di banyak daerah, NTT, misalnya?

Nah, lalu, untuk apa lembaga itu dibuat rakyat? Akan semakin banyak pertanyaan meluncur dari mulut saya yang layak diajukan.

Demikianlah, bila hari kemarin, hari ini, dan hari-hari ke depan, pemerintah, perlemen, termasuk MPR,DPR, DPD dan segenap jajaran lembaga tinggi negara, berikut jaringan Pemda se-Indonesia, menempatkan anggaran yang berasal dari uang rakyat itu, laksana milik kadut mereka sendiri, memang menjadi warga biasa di negeri tercinta ini memupuskan harap untuk menjadi rakyat yang seharusnya menjadi rakyat karena diurus Negara.

negara ini sudah gila sehingga bila jumlah orang gila pun kini naik, dianggap sepi saja oleh Negara.

Dunia kepengusahaan tidak tumbuh, dalam arti mereka berproduksi produk dan jasa yang masuk ke pasar, tapi mereka juga mencoba ikut serta memprodukkan politik, demi urusan “mengelola” anggaran. Ini awal sengkarut, Iklim investasi tidak kondusif. Hukum tidak pasti.

Kebijakan perbankan mulai BI, yang katanya diindependenkan, dan bank pelaksana tidak menjalankan fungi intermediasi.

Bursa saham yang digadang-gadang untuk merujuk ekonomi makro, terindikasi menggoreng saham tidak berkira, melanggar pakem yang dipatoki, terindikasi hingga saya menulis ini. Media diam untuk kasus pembelian sebuah saham, oleh kelompok tertentu, goreng-menggoreng terus mengelinding tidak berkira.

Mau apa kita? Seakan tiada harap, memang.

Apalagi semua yang bakal duduk kelak di trias politika, saya jamin enggan naik Avanza atau Xenia, apalagi mobil Ceria, yang jika kita sarankan, membuat seorang presiden atau menteri terpilih, akan merasa terhina.

Padahal jika mau jujur hati mereka, naik Avanza atau Ceria sebenarnya cukup, sebagai simbol menunjukkan sense of crisis, oleh pejabat terhadap rakyatnya. Toh semua itu dibeli dengan uang rakyat.

Sebaliknya, yang terjadi mereka semua pesta pora di balik penderitaan rakyatnya. Gampang kok, melihat mereka pesta pora. Lihat saja penggunaan anggaran mereka. Adakah mereka berbuat kepada kita rakyatnya?

Contoh saja di Pemda DKI. PAD saja setahun Rp 20 triliun - - bukan total APBD lho - - ke mana saja digunakan?

Sulit mendapatkan jawaban.

Makanya, jika dulu penjajahan memang dilakukan asing, kini penjajahan itu dilakukan oleh bangsa sendiri, bukan lagi basa-basi.

Lebih celaka, bila mereka yang di trias politika itu melibatkan pula yang namanya kekuatan “swasta” untuk meng-kooptasi keberpihakan kepada rakyat kebanyakan.

Terkulai lunglai rakyat Indonesia , dengan gizi memprihatinkan.

disadur dari "Moorehead LRRP"